“Terdengar egois, namun semoga di jalan berikutnya aku diberikan tempat dan ruang untuk salah. Diberi ruang untuk berani meminta maaf dan memperbaiki. Bukan hanya dihakimi dan dibicarakan kesana kemari.”
“Teruntuk aku, maafkan sedikit terlambat. Jujur dari hati terdalam, sempat bingung doa apa yang harus dipanjatkan. Semoga tetap sehat. Terwujud segala angan. Menjadi manusia yang lebih berani untuk bermimpi dan mengucap segala pengharapan. Tak takut untuk salah dan terus belajar. Tak takut untuk menjadi diri sendiri. Lebih ikhlas untuk merasakan segala emosi. Tentunya harus lebih bersyukur atas helaan nafas yang dihembuskan. Semoga selalu menemukan bahagia disetiap perjalanan.”
“Aku akan berbagi sebuah cerita yang selama 2 tahun ini aku pendam. Terjebak dalam resah dan rasa takut yang amat besar. Jadi, dikantor tempatku bekerja aku yang notabennya masih lajang (padahal sempat beberapa kali mengaku kalau memang punya pacar) jadi incaran/ditaksir oleh atasanku. Kadang ada perlakuan2 yang kurang membuatku nyaman. Beliau tidak pernah nyenggol aku secara langsung. Pasti melalui staff2 lainnya. Mulai menyelidiki latar belakangku, rumahku, keluargaku dan sebagainya. Sering juga aku difoto secara diam2, tak jarang beliau juga mengirim pesan untuk meminta maaf karena memfoto diam2. Selain itu, masih teringat jelas beliau pernah mengatakan kalau aku gak akan selamat karena sempat ada tindakanku yang memang diluar keinginannya. Staff2 secara bergantian mencoba membujuk, merayu menyampaikan pesan2 darinya. Aku merasa seorang diri, tak sanggup mengatakan hal2 yang ada didalam benak. Rasanya ingin mengamuk, tapi aku tak kuasa karena mengingat aku belum menikah. Tapi apakah harus selalu dipaksa? Jika aku telah menyampaikan bahwa faktanya beliau bukan lelaki yang akan aku pilih? Bahwa banyak variabel yang memang tak sesuai dengan visi misi yang aku pegang. Sampai tiap kali beliau bertindak, aku hanya bisa menanyakan kepada Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Salahkah bila aku juga memilih? Apakah karena dipandang sebagai wanita 28 tahun yang belum juga menikah, aku dilarang untuk pilih2?. Kenapa Ya Tuhan ? Sampai hari ini, tadi sore . Aku mendapat WA dari beliau kalau beliau diam2 lewat depan rumahku. Luluh lantah tubuhku, gemetar tubuh dan kedua tanganku. Apakah harus bertindak sejauh ini?. Apakah aku tak berhak untuk menunjukan emosiku? Aku diam bukan bearti aku baik dan menerima saja. Aku diam karena aku menahan, bahwa tak ingin menyakiti. Aku pun melindungi diri ku sendiri, dari hal hal yang memang tak diinginkan. Aku berlindung kepada Mu Ya Rabb. Terimakasih untuk kalian yang mendengarkan, aku masih memiliki tempat untuk mencurahkan. Agar tak ku pendam, hingga akhirnya aku akan gila sendirian.”
“Perkara Jodoh. Bertemu dan berpisah. Tak membutuhkan waktu lama untuk tak bersama. Tak ada celah untuk merasakan romansa. Katanya aku telah mati rasa. Namun seenarnya aku pun tak percaya cinta habis di orang lama. Nyatanya aku masih bisa jatuh cinta, merasa berdebar hingga sering tidur larut malam agar bisa ngobrol berdua. Menanti hari libur untuk sekedar saling sapa. Telah ku buka pintu hati lebar lebar, namun memang belum bertemu saja dengan orangnya. Sempat terpikir apakah ini balasan atas segala perbuatan. Aku yang selalu tak bersyukur atas hadirnya seseorang. Atau memang belum waktunya saja?.
“Kalo kata bernadya namun kau tampak baik saja bahkan senyummu lebih lepas sedang aku disini hampir gila . Namun kau tampak baik saja bahkan senyummu lebih lepas sedang aku disini belum terima.”
“Diatas motor roda dua, berangkat menuju arah timur dan pulang ke arah barat. Hanya terucap Izinkanlah aku membahagiakan serta membuat bangga kedua orang tuaku, tuntunlah aku.”
“Kepemilikan, kemelekatan. Terkadang aku lupa bahwa hal hal yang ku genggam sekarang adalah titipan. Kapan pun jika waktu yang digariskan telah usai, siap tidak siap harus tetap ku relakan. Pemikiran akan “itu milikku” amat mencekik, merasa semua dirampas. Namun, jika dipikirkan kembali, tak ada yang benar benar milikmu. Semua hanya titipan. Astaghfirullahaladzim.”
“Menghitung dari skala 1 sampai 10, seberapa besar kesalahanku . Menghitung dan mengingat satu persatu. Empat tahun . Selalu terpikir, bahwa aku pantas untuk ditinggalkan .”